01 November 2015

Minggu, November 01, 2015

Kata Pajak dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 74.499 kata atau 325.345 suku kata tidak ditemukan satu pun kata “pajak”, berbeda halnya dengan kata Zakat yang terdapat sebanyak 30 kali. Menurut Defano, kata “pajak” berasal kata “Ajeg”(bahasa Jawa) yang artinya pungutan tertentu pada waktu tertentu (Soni Defano, 2006). Kata pajak jelas bukan berasal dari bahasa Arab, karena huruf “p” tidak ada dalam konsonan Arab. Untuk menyebut “Padang” misalnya, orang Arab mengatakan “Badang”, “Liverpool“ disebutnya “Libirbuul”. Namun demikian, dalam terjemahan Al-Qur’an terdapat 1x kata “pajak”, yaitu pada terjemahan QS. At-Taubah [9]:29,”Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah (Pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS.[9]:29). Kata ”Jizyah” pada ayat tersebut diterjemahkan dengan “Pajak” (lihat kitab Al-Qur’an & terjemahannya oleh Departemen Agama RI terbitan PT Syaamil Bandung). Walau demikian, tidak semua kitab Al-Qur’an menerjemahkan kata “Jizyah” menjadi “Pajak” melainkan tetap Jizyah saja, misalnya Kitab Al-Qur’an & terjemahannya oleh Departemen  Agama RI cetakan Kerajaan Saudi Arabia atau cetakan CV Diponegoro Semarang.
Pajak dalam Islam disebut Dharibah
Padanan kata yang paling tepat untuk pajak menurut Sistem Ekonomi Islam sebetulnya bukan Jizyah karena Jizyah artinya kehinaan. Menurut Khalifah Umar bin Khattab sungguh tidak pantas kaum Muslim dipungut  dengan kehinaan karena segala aktifitas Muslim yang mengikuti perintah Allah SWT termasuk dalam nilai ibadah yang berarti kemuliaan. Oleh sebab itu, Pajak bagi kaum Muslim tidak dapat diartikan kehinaan, rendah atau berkurang. Rasulullah SAW tidak pernah menyebut apalagi mengenakan Jizyah untuk kaum Muslim. Jizyah lebih tepat diterjemahkan dengan “upeti” (pajak kepala), yang dikenakan terhadap Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) dan Majusi (kaum penyembah api), sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafe’I dalam Kitab Al-Umm, Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha’, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah, Sa’id Hawwa dalam kitab Al-Islam, Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’atul Fatawa, dan Imam Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam al Sulthaniyah.
Padanan kata yang paling tepat untuk Pajak adalah Dhariibah (الضريبة), yang artinya beban. Mengapa disebut Dharibah (beban)?  Karena Pajak merupakan kewajiban tambahan (tathawwu’) bagi kaum Muslim setelah Zakat, sehingga dalam penerapannya akan dirasakan sebagai sebuah beban atau pikulan yang berat (Qardhawi, Fiqhuz Zakah, Bab Zakah wa Dharibah,1973). Secara etimologi, Dharibah, yang berasal dari kata dasar ضرب، يضرب، ضربا (dharaba, yadhribu, dharban) yang artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-lain. Dalam Al-Qur’an, kata dengan akar kata da-ra-ba terdapat di beberapa ayat, antara lain pada QS. Al-Baqarah [2]:61:......وضربت عليهم الذلة والمسكنة, yang artinya,”lalu ditimpahkanlah  kepada mereka nista dan kehinaan. Dharaba adalah bentuk kata kerja (fi’il), sedangkan bentuk kata bendanya (ism) adalah Dharibah ( ضريبة), yang dapat berarti beban. Dharibah adalah isim mufrad (kata benda tunggal) dengan bentuk jamaknya adalah Dharaaib (ضرائب). Dalam contoh pemakaian, jawatan perpajakan di negara Arab disebut dengan maslahah adh-Dharaaib (مَسلحَةَ الضرائب).
Ada juga ulama atau ekonom Muslim dalam berbagai literatur menyebut pajak dengan padanan kata/istilah Kharaj (pajak tanah) atau ‘Ushr (bea masuk) selain Jizyah (upeti), padahal sesungguhnya ketiganya berbeda dengan Dharibah. Objek Pajak (Dharibah) adalah al-Maal (harta/penghasilan), objek Jizyah adalah jiwa (an-Nafs), objek Kharaj adalah tanah (status tanahnya) dan objek ‘Ushr adalah barang masuk (impor). Oleh karena objeknya berbeda, maka jika dipakai istilah Kharaj, Jizyah, atau ‘Ushr untuk pajak akan rancu dengan Dharibah. Untuk itu, biarkanlah Pajak atas tanah disebut dengan Kharaj, sedangkan istilah yang tepat untuk pajak yang objeknya harta/penghasilan adalah Dharibah.
Pendapatan Negara Menurut Islam
Pendapatan Negara (Mawarid Ad-Daulah) pada zaman pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW (610-632M) dan Khulafaurrasyidin (632-650M) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu: [1] Ghanimah, [2] Fay’i,  dan [3] Shadaqah atau Zakat (lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’atul Fatawa).  Fay’i dibagi lagi atas 3 macam yaitu [1] Kharaj; [2] ‘Usyr dan; [3] Jizyah. Berikut uraian tentang berbagai jenis pendapatan tersebut. Ghanimah, adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari kaum kafir, melalui peperangan. Inilah sumber pendapatan utama negara Islam periode awal. Ghanimah dibagi sesuai perintah Allah SWT pada QS. [8]:41, yang turun saat usai perang Badar bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah, yaitu 4/5 adalah hak pasukan, dan 1/5 dibagi untuk Allah SWT, Rasul dan kerabat beliau, Yatim, Miskin dan Ibnu Sabil. Dari Ghanimah inilah dibayar gaji tentara, biaya perang, biaya hidup Nabi dan keluarga beliau, dan alat-alat perang, serta berbagai keperluan umum. Ghanimah merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak diberikan kepada Nabi-Nabi yang lain. Fay’i adalah harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran, oleh karenanya, tidak ada hak tentara didalamnya (QS. Al-Hasyr [59]:6). Fay’i pertama diperoleh Nabi dari suku Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang melanggar Perjanjian Madinah. Kharaj adalah sewa tanah yang dipungut kepada non Muslim ketika Khaibar ditaklukan, tahun ke-7 H. Pada awalnya seluruh tanah taklukan pemerintah Islam, dirampas dan dijadikan milik negara. Namun kemudian, khalifah Umar bin Khattab berijtihad, tidak lagi merampasnya jadi milik kaum Muslim, tapi tetap memberikan hak milik pada non Muslim, namun mewajibkan mereka membayar sewa (Kharaj) atas tanah yang diolah tersebut. ‘Ushr adalah bea impor (bea masuk) yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara, yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non Muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2,5%. Ushr yang dibayar kaum Muslim tetap tergolong sebagai Zakat. Jizyah (Upeti) atau Pajak kepala adalah Pajak yang dibayarkan oleh orang non Muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer. Mereka tetap wajib membayar Jizyah, selagi mereka kafir. Jadi Jizyah juga adalah hukuman atas kekafiran mereka. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam QS.[9]:29. Zakat (Shadaqah) adalah kewajiban kaum Muslim atas harta tertentu yang mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu. Diundangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun efektif pelaksanaan Zakat Mal baru terwujud pada tahun ke-9 H. Demikianlah sumber-sumber pendapatan negara yang utama dalam Sistem ekonomi Islam. Disamping pendapatan utama (primer) ada pula pendapatan sekunder yang diperoleh tidak tetap, yaitu: ghulul, kaffarat, luqathah, waqaf, uang tebusan, khums/rikaz, pinjaman, amwal fadhla, nawa’ib, hadiah, dan lain-lain. Dengan Sistem Ekonomi Islam seperti demikian, negara mengalami surplus dan kejayaan, antara lain dizaman Khalifah Umar bin Khattab  (634-644 M), Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan sebagai puncak keemasan dinasti Abbasiyah adalah tatkala dibawah Khalifah Harun Al-Rasyid (786-803 M).
Sebab-Sebab Munculnya Pajak dalam Islam
Dari uraian tentang sumber-sumber pendapatan negara diatas, tidak terlihat adanya Pajak (Dharibah). Mengapa Pajak (Dharibah) ini muncul? Ada beberapa kondisi yang menyebabkan munculnya Pajak, yaitu: [1] Karena Ghanimah dan Fay’i berkurang (bahkan tidak ada). Pada masa pemerintahan Rasulullah SAW dan Shahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena dari pendapatan Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran umum negara. Namun setelah setelah ekspansi Islam berkurang, maka Ghanimah dan Fay’i juga berkurang. Akibatnya, pendapatan Ghanimah dan Fay’i tidak ada lagi, padahal dari kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum negara, seperti menggaji pegawai/pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah sakit, jalan raya, penerangan, irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru dan gedung sekolah). [2] Terbatasnya tujuan penggunaan Zakat. Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya jumlah kaum Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk  kepentingan umum seperti menggaji tentara, membuat jalan raya, membangun masjid, sebagaimana perintah Allah SWT pada QS.[9]:60. Bahkan Rasulullah SAW yang juga adalah kepala negara selain Nabi, mengharamkan diri dan keturunannya memakan uang Zakat (Fikhus Sunnah, Sayyid Sabiq). Zakat juga ada batasan waktu (haul) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sehingga tidak dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo. Tujuan penggunaan Zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh RasulNya Muhammad SAW. Kaum Muslim tidak boleh berijtihad didalam membuat tujuan Zakat, sebagaimana tidak boleh berijtihad dalam tata cara Shalat, Puasa, Haji, dan ibadah Mahdhah lainnya. Pintu Ijtihad untuk ibadah murni sudah tertutup. [3] Jalan pintas untuk pertumbuhan ekonomi. Banyak negara-negara Muslim memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batubara, gas, dan lain-lain. Namun mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal kerja (alat-alat) maupun tenaga ahli (skill). Jika SDA tidak diolah, maka negara-negara Muslim tetap saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, para ekonom Muslim mengambil langkah baru, berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk membiayai proyek-proyek tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut dengan Pajak. [4]. Imam (Khalifah) berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jika terjadi kondisi kas negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau Zakat), maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika kebutuhan rakyat itu tidak diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau kemudharatan yang lebih besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau memungut Pajak (Dharibah). Jadi dalam hal ini Imam punya dua pilihan, yaitu Utang atau Pajak. Utang mengandung konsekuensi riba dan membebani generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, Pajak adalah pilihan yang lebih baik karena tidak menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang.  Inilah alasan-alasan yang memunculkan ijtihad baru dikalangan fuqaha, berupa Pajak (Dharibah). Salah satu dalil yang dijadikan dasar adanya Pajak adalah Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping Zakat.” (HR Tirmidzi dari Fathimah binti Qais ra., Kitab Zakat, bab 27, hadits no.659-660 dan Ibnu Majah , kitab Zakat, bab III, hadits no. 1789). Sungguhpun Pajak (Dharibah) diperbolehkan oleh ulama, namun ia harus tetap dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan Syari’at Islam. Aturan Pajak harus berpedoman kepada Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Jika memungut Pajak secara dzalim (tidak sesuai syari’at) maka Rasulullah melarang, sebagaimana hadits yang berbunyi artinya,”Laa yadkhulul jannah shahibul maks”, yang artinya Tidak masuk surga petugas Pajak yang dzalim), (HR. Abu Daud, Bab Kharaj, hal. 64, hadits no. 2937 dan Darimi, bab 28, hadits no. 1668). Petugas pajak yang dzalim adalah yang memungut pajak  di pasar-pasar (di Kota Madinah waktu) yang tidak ada perintah dan contoh dari Nabi Muhammad SAW. Layaknya seperti preman yang meminta uang palak kepada pedagang-pedagang  pasar. Petugas pajak yang yang memungut uang tidak didasari Undang-Undang seperti inilah yang dimaksud dengan “Shahibul maks” atau petugas pajak yang dzalim. Sedangkan Pajak (Dharibah) yang dibuat oleh pemerintah (Ulil amri) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dengan berpedoman kepada Syari’at Islam dibolehkan dengan dasar ijtihad.
Kesimpulan
Pajak (Dharibah) terdapat dalam Islam yang merupakan salah satu pendapatan negara  berdasarkan ijtihad Ulil Amri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dan persetujuan ulama. Pajak (Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat atau kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Ia adalah kewajiban atas kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran kaum Muslim yang harus dibiayai secara kolektif (ijtima’iyyah) seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan, dimana tanpa pengeluaran itu akan terjadi bencana yang lebih besar. Masa berlakunya temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Ia dipungut bukan atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban (beban) lain atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada atau tidaknya harta di Baitul Mal, sementara sumber-sumber pendapatan yang asli seperti Ghanimah, Fay’i, Kharaj dan sumber pendapatan negara yang tidak ada. Objeknya Pajak (Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok, seperti halnya Zakat. Agar tidak terjadi double taxs dengan Zakat, maka dalam penghitungannya, Zakat yang  telah dikeluarkan dapat dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak yang tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi atau PPh Badan, sehingga akan dapat mengurangi Pajak terutang. Zakat saat ini memang baru dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, menunggu sebuah ketentuan yang lebih baik (insya Allah akan terbit) dimasa mendatang yaitu zakat dijadikan sebagai pengurang pajak terutang (credit tax).

 Gusfahmi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

Sumber

0 comments:

Posting Komentar