31 Oktober 2015

Sabtu, Oktober 31, 2015
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan tidak main-main dalam memberikan sanksi penyanderaan (gijzeling) bagi wajib pajak yang nakal. Akhir Januari lalu, Ditjen Pajak melakukan gijzeling terhadap SC di Salemba, Jakarta. SC merupakan WNI yang tercatat sebagai penanggung pajak PT GDP, sebuah perusahaan Penanaman Modal Asing yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing Tiga (PMA 3). Tunggakan pajak yang belum dibayarkan SC adalah sebesar Rp6 miliar selama 5 tahun. Satu pekan berikutnya, giliran 7 pengemplang pajak di Surabaya yang dibui, dengan tunggakan pajak Rp8,12 miliar. Secara total, Ditjen Pajak telah mengidentifikasi 31 penunggak pajak segera dilakukan eksekusi gijzeling.

Gijzeling dan Target Pajak

Eksekusi wajib nakal dengan cara gijzeling kembali dilakukan mengingat tahun 2015 merupakan tahun yang tidak mudah bagi Ditjen pajak. Dengan target penerimaan perpajakan sebesar Rp1.484,6 triliun dalam APBN-P 2015, Ditjen pajak harus memutar otak agar target pajak yang lebih besar Rp104 triliun dari perkiraan penerimaan perpajakan dalam APBN sebesar Rp1.380 triliun dapat tercapai.

Tentu saja, untuk mencapai target tersebut bukanlah pekerjaan yang ringan di tengah tidak tercapainya target penerimaan pajak dalam APBN selama beberapa tahun terakhir. Tahun 2014 sendiri, realisasi pajak per 31 Desember 2014 dilaporkan sebesar Rp990,4 triliun, atau 92,4% dari target APBN-P 2014 sebesar Rp1.246,1 triliun.

Untuk mencapai target tersebut, Ditjen Pajak di bawah pimpinan Direktur Jenderal baru, Sigit Priadi Pramudito, menyusun berbagai strategi, diantaranya: menggenjot program intensifikasi, ekstensifikasi pajak, dan penerapan penegakan hukum (law enforcement) bagi wajib pajak nakal. Dari sisi internal, Ditjen Pajak juga akan membenahi kualitas Sumber Daya Manusia dan memperbaiki sistem remunerasi. Dalam waktu dekat, dana Rp4 triliun akan digelontorkan sebagai ‘vitamin’ penambah perbaikan penghasilan 32.000 pegawai pajak. Diharapkan, perbaikan pendapatan pegawai pajak yang tidak pernah naik sejak tahun 2007 akan memotivasi pegawai pajak untuk menggenjot penerimaan negara.

Gijzeling sebagai langkah terakhir

Menurut R. Santoso Brotidihardjo dalam Pengantar Ilmu Hukum Pajak (1989), gijzeling atau penyanderaan ialah penyitaan atas badan orang yang berutang pajak. Tindakan ini juga suatu penyitaan, tetapi bukan langsung atas kekayaan, melainkan secara tidak langsung, yaitu diri orang yang berutang pajak.

Dasar hukum Ditjen Pajak dalam melakukan gijzeling terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP). Undang-Undang PPSP mengatur mengenai penagihan utang pajak kepada wajib pajak melalui upaya penegakan hukum. Salah satu alat paksa dalam UU PPSP adalah melalui penyanderaan (gijzeling). Tujuan dilakukannya gijzeling adalah untuk mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan masyarakat bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional, serta merupakan salah satu kewajiban kenegaraan, sehingga dengan penagihan pajak melalui surat paksa tersebut setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif dalm melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya.

Dalam menjalankan gijzeling, terdapat hal-hal yang mensyaratkannya antara lain utang pajak sekurang-kurangnya sebesar seratus juta rupiah dan penanggung pajak diragukan itikad baiknya dalam melunasi pajak. Untuk menjaga prinsip kehati-hatian, pelaksanaan gijzeling hanya dapat dilakukan setelah ada Surat Perintah Penyanderaan atas izin Menteri Keuangan atau Gubernur dan diterima oleh penanggung pajak. Waktu penyanderaan sendiri maksimal 6 bulan sejak penanggung pajak dimasukkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 bulan. Meskipun telah dilakukan penyanderaan, hal tersebut tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan.

Dengan berbagai prosedur di atas, gijzeling dilaksanakan apabila wajib pajak benar-benar sudah membandel. Tindakan gijzeling bukan satu-satunya cara untuk membuat wajib pajak jera, dan merupakan langkah antisipasi terakhir yang merupakan upaya mencari deterrence effect (efek jera), agar para penunggak pajak takut dan segera melunasi kewajiban pajaknya. Penagihan aktif represif dilakukan setelah penagihan persuasif mengalami kegagalan. Sebelum gijzeling, beberapa langkah dilakukan yaitu memberikan surat teguran, surat perintah penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, pengumuman di media massa, penyitaan, lelang, pencegahan, dan penyanderaan.

 Penutup

Gijzeling merupakan salah satu upaya dalam rangka penegakan hukum (law enforcement). Tindakan tersebut dapat menambah penerimaan negara. Namun demikian, perlu ditekankan kepada masyarakat bahwa tindakan gijzeling bukan hanya untuk mencapai target dalam anggaran negara. Dengan dikekang kebebasannya sementara waktu, wajib pajak diharapkan dapat melunasi utang pajaknya.

Dalam eksekusinya, agar menimbulkan efek jera kepada masyarakat, perlu diberitakan secara luas sehingga perlu mengundang awak media untuk menyebarluaskan pemberitaan tentang gijzeling. Meski demikian, wajib pajak yang terkena gijzeling harus mendapatkan posisi bahwa wajib pajak tersebut bukan terpidana ataupun pelaku tindak pidana, sehingga ketika sudah melunasi kewajiban perpajakannya, wajib pajak tersebut tidak memiliki citra negatif.

Untuk meningkatkan kepatuhan pajak, penguatan sistem IT dan kerja sama dengan instansi terkait perlu selalu digalakkan. Database pajak yang bagus akan menjadi alat untuk memantau wajib pajak yang membandel, yang selanjutnya dapat dikenakai efek jera dengan gijzeling. Database yang bagus perlu dilengkapi dengan sekuriti yang handal, untuk menghindari adanya pihak-pihak yang mengatasnamakan Ditjen Pajak yang bertujuan melakukan pemerasan terhadap wajib pajak nakal.

Kerjasama dengan BKPM, Kementerian Perdagangan, Otoritas Jasa Keuangan diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang wajib pajak. Sementara, kerjasama yang bagus dengan aparat kepolisian dan Kementerian Hukum dan HAM diperlukan dalam rangka eksekusi dan penahanan wajib pajak yang membandel. Penahanan dilakukan/ditititipkan di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) yang merupakan instatusi di bawah Kementerian Hukum dan HAM, karena Ditjen Pajak tidak mempunyai fasilitas untuk menyandera wajib pajak yang terkena gijzeling.

Apabila kebijakan gijzeling dilaksanakan dengan tepat, tindakan law enforcement tersebut akan mendorong wajib pajak untuk patuh membayar pajak. Menurut Herbert Kelman dalam Compliance, Identification, and Internalization : Three Process of Attitude Change Problem, gijzeling dapat dijadikan salah satu motif membayar pajak karena didorong oleh ketakutan akan mendapatkan hukuman bila tidak membayar kewajiban perpajakannya. Mengingat Indonesia menerapkan sistem self assessment, pada tahap akhir, penerapan gijzeling akan menciptakan tingkat kesadaran yang tinggi untuk membayar pajak secara sukarela dan membangun kepercayaan masyarakat dalam membayar kewajiban perpajakan.



Budi Sulistyo, pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

0 comments:

Posting Komentar