“Yang dulu
itu dulu, yang sekarang ya sekarang. Kenapa negara tidak berhenti meminta uang
(pada rakyatnya)?”
“Negara
mengeluarkan biaya untuk kebutuhan rakyatnya. Jika negara tidak punya cukup
uang, tidak mungkin merawat jalan agar tetap bisa kamu lewati”
“Jika jalan
rusak, kami akan memperbaikinya sendiri”
“Jadi kamu
tidak mau membayar pajak?”
“Wong Sikep tidak tahu pajak”
Kutipan di atas berasal dari laporan
seorang jurnalis Jawa yang datang ke Rembang untuk membuat tulisan mengenai
sebuah gerakan petani di pesisir utara Pulau Jawa. Sebenarnya kutipan tersebut
tidak merujuk pada satu peristiwa berdasarkan fakta sejarah, tapi merupakan
anekdot yang berkembang di masyarakat. Anekdot ini menggambarkan pandangan
masyarakat terhadap ajaran Samin dan sikap ngeyel para pengikutnya terhadap
aturan dan otoritas pemerintah pada tahun 1914.
***
Meski nama dan substansinya mungkin berbeda
dari zaman ke zaman, tapi sejak awal kesadaran tentang pentingnya pajak sudah
muncul dalam masyarakat manusia. Dalam masyarakat primitif, ada bagian tertentu
dari perolehan anggota suku yang harus disetorkan kepada kepala suku. Dalam
masa kerajaan, karena semua wilayah dianggap sebagai milik raja, maka rakyat
wajib menyetorkan sebagian hasil kerjanya pada raja. Pada masa-masa ini, pajak
tidak dilihat sebagai peran serta rakyat tapi sebagai akibat dari konsekuensi
dari posisinya sebagai warga suku atau kerajaan; sehingga mereka tak punya
ruang untuk menyoal penggunaan pajak tersebut.
Pada era modern, pada dasarnya pajak
adalah pintu utama partisipasi masyarakat dengan negara. Bahkan, hampir bisa
dikatakan: tanpa partisipasi masyarakat lewat pajak, sebuah negara akan limbung
dan mungkin berantakan karena kehilangan salah satu sumber utama pembiayaannya.
Pada era ini, diandaikan bahwa
pembayaran pajak adalah kesadaran warga dan karena itu mereka punya hak untuk
mengetahui penggunaanya. Sementara di sisi lain, adanya kesadaran dari para
penyelenggara negara, terutama pemerintah, bahwa kegiatan mereka dibiayai
rakyat sehingga harus menempatkan rakyat sebagai tuan yang harus dilayaninya.
Memang benar, bahwa pajak bukan
satu-satunya sumber bagi pembiayaan negara, ada banyak sumber lain yang juga
bisa dimanfaatkan: mulai dari badan usaha milik negara sampai dengan sektor tambang,
minyak dan gas misalnya. Bahkan, kita ingat, sampai dengan pertengahan orde
barunya Soeharto, sektor pajak belum terlalu dianggap penting, karena pemasukan
dari sektor non-pajak –terutama pertambangan, minyak dan gas- sudah cukup
berlimpah dan mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan negara. Tapi periode tak
berjalan lama, pada akhirnya negara mau tidak mau harus menengok ke sektor
pajak sebagai salah satu sumber penting pembiayaannya.
***
Kesadaran partisipatif dari rakyat di
satu sisi, dan kesadaran pelayanan dari penyelenggara negara di sisi lain;
adalah dua sisi dari satu mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bisa diperkirakan
bahwa tingkat partisipasi akan cenderung meningkat bila tingkat kepercayaan
rakyat pada pelayanan penyelenggara negara –terutama pemerintah- juga
meningkat. Bila sebaliknya yang terjadi, maka Dinas Pajak sebagai ujung tombak
pengumpulan pajak dari rakyat pasti akan menemui banyak masalah di lapangan.
Apalagi bila Dinas Pajak sendiri dianggap bermasalah, maka tantangan yang
muncul akan lebih besar dan rumit.
Yang menjadi masalah adalah ketika
masyarakat masih menyikapi pajak bukan sebagai bentuk partisipasi yang niscaya
dalam pengelolaan negara modern, tapi memahaminya dalam pola pikir lama sebagai
‘paksaan’ karena dia bermukim di wilayah kerajaan. Lebih payah lagi bila pola
pikir semacam ini justru menjangkiti para penyelenggara negara, termasuk Dinas
Pajak; dimana disikapi sekedar sebagai kewajiban masyarakat, tanpa disertai
kesadaran tentang transparansi dan pertanggung-jawaban penggunaannya. Menurut
saya, pola pikir semacam ini masih membayang di bawah sadar masyarakat maupun
penyelenggara negara; karena itu menjadi tantangan utama untuk dibongkar.
Kisah yang dinukil di atas sebenarnya
menggambarkan fase dimana sekelompok orang yang sudah tidak percaya pada
negara; memakai penolakan membayar pajak sebagai pintu masuk untuk ‘melawan’
negara. Hal yang hampir sama juga terjadi dalam peristiwa Perang Jawa yang
digerakkan oleh Pangeran Diponegoro. Kerajaan Majapahit pun konon ambruk karena
kasus yang hampir sama. Sebenarnya masih banyak contoh lain yang bisa diambil
untuk menggambarkan bagaimana isu tentang pajak dipakai sebagai pintu masuk
untuk menggembosi atau bahkan meruntuhkan negara.
Contoh-contoh ini sebenarnya bisa
menjadi cermin bersama: baik bagi rakyat maupun penyelenggara negara, bahwa
filosofi pajak harus berangkat dari kesetaraan. Kesetaraan antara rakyat yang
sukarela berpartisipasi dengan penyelenggara negara yang sukarela melayani.Dalam
hal ini, Dinas Pajak sebagai ujung tombak penarikan pajak, sudah seharusnya
menerapkan filosofi ini dalam kinerjanya; meski harus diakui Dinas Pajak bukan
satu-satunya faktor dalam meningkatkan atau menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap negara, terutama pemerintah.
Pati,
27 Februari 2015
Anis
Sholeh Ba’asyin
0 comments:
Posting Komentar