26 Oktober 2015

Senin, Oktober 26, 2015

“Biasanya kamu membayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
“Yang dulu itu dulu, yang sekarang ya sekarang. Kenapa negara tidak berhenti meminta uang (pada rakyatnya)?”
“Negara mengeluarkan biaya untuk kebutuhan rakyatnya. Jika negara tidak punya cukup uang, tidak mungkin merawat jalan agar tetap bisa kamu lewati”
“Jika jalan rusak, kami akan memperbaikinya sendiri”
“Jadi kamu tidak mau membayar pajak?”
Wong Sikep tidak tahu pajak”
Kutipan di atas berasal dari laporan seorang jurnalis Jawa yang datang ke Rembang untuk membuat tulisan mengenai sebuah gerakan petani di pesisir utara Pulau Jawa. Sebenarnya kutipan tersebut tidak merujuk pada satu peristiwa berdasarkan fakta sejarah, tapi merupakan anekdot yang berkembang di masyarakat. Anekdot ini menggambarkan pandangan masyarakat terhadap ajaran Samin dan sikap ngeyel para pengikutnya terhadap aturan dan otoritas pemerintah pada tahun 1914.
***
Meski nama dan substansinya mungkin berbeda dari zaman ke zaman, tapi sejak awal kesadaran tentang pentingnya pajak sudah muncul dalam masyarakat manusia. Dalam masyarakat primitif, ada bagian tertentu dari perolehan anggota suku yang harus disetorkan kepada kepala suku. Dalam masa kerajaan, karena semua wilayah dianggap sebagai milik raja, maka rakyat wajib menyetorkan sebagian hasil kerjanya pada raja. Pada masa-masa ini, pajak tidak dilihat sebagai peran serta rakyat tapi sebagai akibat dari konsekuensi dari posisinya sebagai warga suku atau kerajaan; sehingga mereka tak punya ruang untuk menyoal penggunaan pajak tersebut.
Pada era modern, pada dasarnya pajak adalah pintu utama partisipasi masyarakat dengan negara. Bahkan, hampir bisa dikatakan: tanpa partisipasi masyarakat lewat pajak, sebuah negara akan limbung dan mungkin berantakan karena kehilangan salah satu sumber utama pembiayaannya.
Pada era ini, diandaikan bahwa pembayaran pajak adalah kesadaran warga dan karena itu mereka punya hak untuk mengetahui penggunaanya. Sementara di sisi lain, adanya kesadaran dari para penyelenggara negara, terutama pemerintah, bahwa kegiatan mereka dibiayai rakyat sehingga harus menempatkan rakyat sebagai tuan yang harus dilayaninya.
Memang benar, bahwa pajak bukan satu-satunya sumber bagi pembiayaan negara, ada banyak sumber lain yang juga bisa dimanfaatkan: mulai dari badan usaha milik negara sampai dengan sektor tambang, minyak dan gas misalnya. Bahkan, kita ingat, sampai dengan pertengahan orde barunya Soeharto, sektor pajak belum terlalu dianggap penting, karena pemasukan dari sektor non-pajak –terutama pertambangan, minyak dan gas- sudah cukup berlimpah dan mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan negara. Tapi periode tak berjalan lama, pada akhirnya negara mau tidak mau harus menengok ke sektor pajak sebagai salah satu sumber penting pembiayaannya.
***
Kesadaran partisipatif dari rakyat di satu sisi, dan kesadaran pelayanan dari penyelenggara negara di sisi lain; adalah dua sisi dari satu mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bisa diperkirakan bahwa tingkat partisipasi akan cenderung meningkat bila tingkat kepercayaan rakyat pada pelayanan penyelenggara negara –terutama pemerintah- juga meningkat. Bila sebaliknya yang terjadi, maka Dinas Pajak sebagai ujung tombak pengumpulan pajak dari rakyat pasti akan menemui banyak masalah di lapangan. Apalagi bila Dinas Pajak sendiri dianggap bermasalah, maka tantangan yang muncul akan lebih besar dan rumit.
Yang menjadi masalah adalah ketika masyarakat masih menyikapi pajak bukan sebagai bentuk partisipasi yang niscaya dalam pengelolaan negara modern, tapi memahaminya dalam pola pikir lama sebagai ‘paksaan’ karena dia bermukim di wilayah kerajaan. Lebih payah lagi bila pola pikir semacam ini justru menjangkiti para penyelenggara negara, termasuk Dinas Pajak; dimana disikapi sekedar sebagai kewajiban masyarakat, tanpa disertai kesadaran tentang transparansi dan pertanggung-jawaban penggunaannya. Menurut saya, pola pikir semacam ini masih membayang di bawah sadar masyarakat maupun penyelenggara negara; karena itu menjadi tantangan utama untuk dibongkar.
Kisah yang dinukil di atas sebenarnya menggambarkan fase dimana sekelompok orang yang sudah tidak percaya pada negara; memakai penolakan membayar pajak sebagai pintu masuk untuk ‘melawan’ negara. Hal yang hampir sama juga terjadi dalam peristiwa Perang Jawa yang digerakkan oleh Pangeran Diponegoro. Kerajaan Majapahit pun konon ambruk karena kasus yang hampir sama. Sebenarnya masih banyak contoh lain yang bisa diambil untuk menggambarkan bagaimana isu tentang pajak dipakai sebagai pintu masuk untuk menggembosi atau bahkan meruntuhkan negara.
Contoh-contoh ini sebenarnya bisa menjadi cermin bersama: baik bagi rakyat maupun penyelenggara negara, bahwa filosofi pajak harus berangkat dari kesetaraan. Kesetaraan antara rakyat yang sukarela berpartisipasi dengan penyelenggara negara yang sukarela melayani.Dalam hal ini, Dinas Pajak sebagai ujung tombak penarikan pajak, sudah seharusnya menerapkan filosofi ini dalam kinerjanya; meski harus diakui Dinas Pajak bukan satu-satunya faktor dalam meningkatkan atau menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap negara, terutama pemerintah.




Pati, 27 Februari 2015

 
Anis Sholeh Ba’asyin

0 comments:

Posting Komentar