26 Oktober 2015

Senin, Oktober 26, 2015
Entah dituntun oleh apa, seorang kawan yang lama menghilang dari peredaran tiba-tiba datang dan memberondong telinga saya dengan persepsi-persepsinya tentang Tuhan. Sekian lama ‘bertapa’ tampaknya membuat ia seperti gunung meledak, dalam satu tarikkan nafas mencoba memuncratkan seluruh lahar pikirannya ke otak saya.
Begitulah, setelah panjang lebar membeberkan unek-uneknya, dengan terengah-engah sampailah dia pada pernyataan penutup: suka atau tidak suka, kita harus menerima kenyataan bahwa sebagian terbesar kita ternyata tak lagi percaya pada Tuhan.
Untuk menjaga pergaulan, saya manggut-manggut, meski -jujur saja- tak sepenuhnya saya paham apa yang sebenarnya barusan dia berondongkan.
Tentu saja, dalam hati saya berpikir bahwa itu adalah pendapat gila: Bagaimana mungkin kita tak percaya Tuhan, sedang dasar negara kita saja sudah jelas-jelas menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya? Disamping itu: bagaimana mungkin kita tak percaya Tuhan, sedang kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk semua warga negara Indonesia selalu terisi? Bukankah beragama otomatis berarti bertuhan juga?
Ketika ini saya utarakan, bukannya marah, dia malah terbahak-bahak. Bukan cuma itu, begitu dia malah menambahkan, bukankah setiap pelantikan pejabat selalu didahului dengan pengucapan sumpah dengan nama Tuhan? Tapi apakah itu membuktikan bahwa mereka percaya Tuhan?
“Tapi itu juga tak cukup membuktikan bahwa mereka tak percaya Tuhan, kan?” saya masih coba berkilah. Tentu saja saya tahu, dia sedang mempersoalkan orang-orang yang berani bersumpah dengan nama Tuhan, namun ketika menjabat bukan cuma suka membuat kebijakan yang serampangan, tapi juga suka menjarah kekayaan yang bukan haknya.
Bukannya menjawab, kawan saya tadi malah bercerita tentang Sayyidina Umar. Ketika melihat satu keluarga kelaparan, tanpa banyak kata Umar RA langsung mengambil sekarung bahan makanan dari gudang negara, mengangkut dengan pundaknya sendiri dan mengantarkannya ke keluarga tersebut.
Ini dilakukannya karena iman beliau pada Tuhan. Beriman artinya percaya bahwa Tuhan setiap saat mengawasi, dan bahwa kelak pada hari akhir kita akan langsung berhadapan denganNya untuk mempertanggung-jawabkan setiap perbuatan kita. Karena itu, dalam Al-Qur’an -begitu dia menjelaskan- kata beriman pada Allah paling sering bergandeng dengan kata beriman pada hari akhir.
“Tolong sekarang lihatlah dengan jernih fakta yang berlimpah di sekitar kita: apakah itu membuktikan bahwa kita masih percaya pada Tuhan?” begitu dia menutup pembicaraan, meninggalkan saya terbengong-bengong sendirian.
Saya jadi teringat tentang seorang kawan lain, seorang pejabat inspektorat pajak di wilayah Jawa Tengah. Melihat rumahnya yang nyaris ambruk (sehingga saudara-saudaranya harus arisan untuk memperbaikinya), ke kantor cukup naik becak dan tak mau memakai mobil dinas kecuali dalam tugas; tentu saya tak sepenuhnya mengamini pendapat kawan tadi.

Tapi, melihat kenyataan betapa banyak anak buah sang inspektur -bahkan yang masih yunior sekalipun- sudah hidup bergelimang kemewahan, sehingga posisi sang inspektur sering tampak seperti sekedar pulau di tengah samudra; mau tak mau saya terpaksa berpikir seperti kawan tadi: jangan-jangan sebagian besar kita memang benar-benar sudah tak lagi percaya pada Tuhan.

Pati, 27 Februari 2015

 Anis Sholeh Ba’asyin

0 comments:

Posting Komentar