Entah
dituntun oleh apa, seorang kawan yang lama menghilang dari peredaran tiba-tiba
datang dan memberondong telinga saya dengan persepsi-persepsinya tentang Tuhan.
Sekian lama ‘bertapa’ tampaknya membuat ia seperti gunung meledak, dalam satu
tarikkan nafas mencoba memuncratkan seluruh lahar pikirannya ke otak saya.
Begitulah,
setelah panjang lebar membeberkan unek-uneknya, dengan terengah-engah sampailah
dia pada pernyataan penutup: suka atau tidak suka, kita harus menerima
kenyataan bahwa sebagian terbesar kita ternyata tak lagi percaya pada Tuhan.
Untuk
menjaga pergaulan, saya manggut-manggut, meski -jujur saja- tak sepenuhnya saya
paham apa yang sebenarnya barusan dia berondongkan.
Tentu
saja, dalam hati saya berpikir bahwa itu adalah pendapat gila: Bagaimana
mungkin kita tak percaya Tuhan, sedang dasar negara kita saja sudah jelas-jelas
menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya? Disamping itu:
bagaimana mungkin kita tak percaya Tuhan, sedang kolom agama dalam Kartu Tanda
Penduduk semua warga negara Indonesia
selalu terisi? Bukankah beragama otomatis berarti bertuhan juga?
Ketika
ini saya utarakan, bukannya marah, dia malah terbahak-bahak. Bukan cuma itu,
begitu dia malah menambahkan, bukankah setiap pelantikan pejabat selalu
didahului dengan pengucapan sumpah dengan nama Tuhan? Tapi apakah itu
membuktikan bahwa mereka percaya Tuhan?
“Tapi
itu juga tak cukup membuktikan bahwa mereka tak percaya Tuhan, kan ?” saya masih coba
berkilah. Tentu saja saya tahu, dia sedang mempersoalkan orang-orang yang
berani bersumpah dengan nama Tuhan, namun ketika menjabat bukan cuma suka
membuat kebijakan yang serampangan, tapi juga suka menjarah kekayaan yang bukan
haknya.
Bukannya
menjawab, kawan saya tadi malah bercerita tentang Sayyidina Umar. Ketika
melihat satu keluarga kelaparan, tanpa banyak kata Umar RA langsung mengambil
sekarung bahan makanan dari gudang negara, mengangkut dengan pundaknya sendiri
dan mengantarkannya ke keluarga tersebut.
Ini
dilakukannya karena iman beliau pada Tuhan. Beriman artinya percaya bahwa Tuhan
setiap saat mengawasi, dan bahwa kelak pada hari akhir kita akan langsung
berhadapan denganNya untuk mempertanggung-jawabkan setiap perbuatan kita.
Karena itu, dalam Al-Qur’an -begitu dia menjelaskan- kata beriman pada Allah
paling sering bergandeng dengan kata beriman pada hari akhir.
“Tolong
sekarang lihatlah dengan jernih fakta yang berlimpah di sekitar kita: apakah
itu membuktikan bahwa kita masih percaya pada Tuhan?” begitu dia menutup
pembicaraan, meninggalkan saya terbengong-bengong sendirian.
Saya
jadi teringat tentang seorang kawan lain, seorang pejabat inspektorat pajak di
wilayah Jawa Tengah. Melihat rumahnya yang nyaris ambruk (sehingga
saudara-saudaranya harus arisan untuk memperbaikinya), ke kantor cukup naik
becak dan tak mau memakai mobil dinas kecuali dalam tugas; tentu saya tak
sepenuhnya mengamini pendapat kawan tadi.
Tapi,
melihat kenyataan betapa banyak anak buah sang inspektur -bahkan yang masih
yunior sekalipun- sudah hidup bergelimang kemewahan, sehingga posisi sang
inspektur sering tampak seperti sekedar pulau di tengah samudra; mau tak mau
saya terpaksa berpikir seperti kawan tadi: jangan-jangan sebagian besar kita
memang benar-benar sudah tak lagi percaya pada Tuhan.
Pati, 27 Februari 2015
Anis Sholeh Ba’asyin
0 comments:
Posting Komentar