01 November 2015

Minggu, November 01, 2015
Sering kita mendengar pengumuman dari pengurus Masjid, terutama menjelang khatib naik mimbar Shalat Jum’at bahwa Masjid sedang membutuhkan dana, baik berupa Infaq, Zakat, Waqaf dan Shadaqah yang kesemuanya itu akan digunakan untuk penyelesaian pembangunan Masjid yang sedang terbengkalai. Artinya, semua jenis penerimaan dana akan dipakai sepenuhnya untuk membangun fisik Masjid. Pertanyaannya adalah,”Boleh hal tersebut menurut Islam?”
Islam sebagai sistem kehidupan yang komprehensif telah mengatur seluruh aspek, baik aspek ibadah kepada Allah SWT maupun aspek mu’amalah sesama manusia berupa ekonomi, politik, budaya, pertahanan keamanan, dan aspek lainnya. Dalam masalah ekonomi, Rasulullah SAW sebagai Kepala Negara Islam pertama di Madinah tahun 632-633 M (Tahun 1-10 H) telah mencontohkan bagaimana cara mengatur perekonomian, baik individu (keluarga) atau masyarakat (negara).
Ada 6 (enam) kebutuhan pokok manusia menurut Islam yaitu: [1] makanan; [2] pakaian; [3] perumahan; [4] keamanan; [5] kesehatan; [6] pendidikan. Makanan, pakaian dan perumahan adalah kebutuhan pokok individu (keluarga) yang wajib disediakan oleh seorang ayah. Dalilnya adalah QS. Al-Baqarah [2]:233 yang artinya,”Dan kewajiban seorang ayah menanggung nafkah (makanan-pen) dan pakaian mereka dengan cara yang ma’ruf (patut); QS. An-Nisa’ [4]:5 yang artimya,”Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu); dan QS. At-Thalaq [65]:6 yang artinya,”Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu”. Hadits-hadits yang menjelaskan ayat tersebut juga banyak sekali. Tiga kebutuhan pokok pertama ini harus dibiayai oleh seorang ayah dari Infaq (nafkah) yang artinya belanja rutin yang mesti ada setiap hari dan habis dipakai untuk konsumsi. Jadi makanan, pakaian, dan perumahan wajib diurus oleh seorang ayah, dimana dia wajib mengadakannya. Jika kebutuhan pokok pertama ini tidak ada, para ulama berpendapat bahwa seorang ayah boleh berutang, bahkan ada ulama yang mengatakan wajib berutang supaya bisa terpenuhi. Ketiga kebutuhan pokok pertama ini jika tidak ada, maka status seseorang sebagai Muslim akan terancam bahkan punah. Mengapa? Karena tanpa makanan dia akan mati, tanpa pakaian dia telanjang (terbuka aurat), tidak bisa Shalat. Tanpa perumahan maka mereka tidak bisa beribadah dan menjaga aurat keluarga. Oleh sebab itu, Sistem Ekonomi Islam mengatur bahwa ketiga hal pokok itu harus ada dan wajib diusahakan oleh seorang ayah. Cara pemenuhannya disebut Infaq (nafkah).
Tiga kebutuhan tingkat kedua yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan individu dan keluarga, tapi tidak boleh diusahakan secara individu, melainkan harus secara bersama-sama (ijtima’iyyah) yang harus diatur oleh pemerintah (Ulil Amri). Mengapa? Agar tidak terjadi kekacauan. Meskipun kita seorang jagoan, tidak boleh menghukum pencuri sendirian jika ada kemalingan di rumah tapi dilakukan oleh Polisi. Begitu juga seorang dokter, tidak boleh menyuntik dirinya sendiri namun harus melalui pengobatan oleh pihak Rumah Sakit. Seorang guru pun demikian tidak mengajar anaknya sendiri, namun harus mendidik anaknya di sekolah (madrasah). Ketiga kebutuhan pokok tingkat kedua ini sebetulnya adalah kewajiban seorang ayah namun dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara bersama-sama dan diatur oleh pemerintah. Oleh sebab itu, dalam pendanaan keamanan (membayar biaya polisi dan peralatannya), kesehatan (menggaji dokter dan peralatannya), pendidikan (menggaji guru dan peralatannya) harus ada sumber dana. Dari mana?
Pada zaman Pemerintahan Rasulullah SAW, biaya gaji tentara, dokter, guru dan biaya umum negara dibiayai dari: [1] Ghanimah (harta rampasan perang) sebagaimana dapat kita lihat dalam QS. Al Anfaal [8]:41 dan; [2] Fa’i yaitu harta yang diperoleh negara namun tidak melalui peperangan (QS. Al Hasyr [59]:6); [3] Jizyah yaitu Pajak Kepala yang dipungut dari Kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi (QS. At Taubah [9]:29); [4] Kharaj yaitu Pajak hasil tanah atas tanah taklukan yang menjadi milik negara; dan [5] ‘Ushr yaitu bea masuk atas barang dagang yang memasuki wilayah pemerintah negara Islam (lihat: Gusfahmi, Pajak Menurut Syari’ah, 2007). Namun ke-5 jenis penghasilan negara tersebut di Indonesia saat ini tidak ada. Oleh sebab itu, sumber pembiayaan keamanan, kesehatan dan pendidikan tersebut dicarikan solusi baru yaitu Pajak (Dharibah), yaitu,”Pemungutan kepada kaum Muslim sebagai tambahan kewajiban setelah Zakat untuk mendanai kebutuhan mereka sendiri yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan”.
Penulis pernah bertanya kepada seorang dosen perguruan tinggi Islam, bagaimana pendapatnya tentang Zakat dan Pajak? Beliau menjawab bahwa,”Setahu saya yang ada dalam Islam hanyalah Zakat untuk orang Islam dan Jizyah untuk orang kafir. Jadi tidak ada Pajak dalam Islam” kata beliau. Penulis agak tertegun, namun tidak meneruskan pertanyaan yang amat sangat akan membuat beliau susah menjawab, yaitu, “Kalau begitu gaji Bapak sebagai dosen PTN uangnya bersumber dari mana?”. Bukankah gaji dosen, guru, polisi, PNS dan lainnya dibayar dari uang Pajak? Kalau Pajak itu tidak ada dalam Islam, bagaimana nasib uang gaji yang mereka terima?
Dalam sebuah ceramah ditempat lain penulis juga pernah mendengar langsung seorang da’i menyampaikan ceramah bahwa Pajak itu haram! Penulis tidak habis pikir bagaimana beliau sampai berfatwa demikian. Bukankah jalan raya yang mereka lalui saat ini dibangun dengan uang Pajak, lampu-lampu jalan yang mereka nikmati, pelayanan kesehatan di Puskesmas dibiayai dari Pajak. Jasa keamanan mengatur lalu lintas oleh Polisi dibiayai dari Pajak. Termasuk pembangunan gedung-gedung sekolah (madrasah) serta bantuan pembangunan sarana ibadah seperti Masjid juga dari uang Pajak. Kalau uang pajak itu haram, tentu barang-barang yang digunakan dari uang pajak itu juga haram? Benarkah fatwa da’i bahwa Pajak itu haram? Penulis yakin fatwa demikian keluar karena belum fahamnya seorang da’i tentang sistem ekonomi Islam yang mengatakan dalam ushul fiqih,”Ma latimul wajib illa bihi fahuwal wajib”, artinya apa-apa yang diperlukan untuk terlaksananya sebuah kewajiban, maka dia menjadi wajib. Seperti wudhuk sebelum Shalat menjadi wajib hukumnya, karena dia adalah syarat sah Shalat. Demikian pula mencari solusi pembiayaan, tatkala sumber yang asli (Ghanimah, dll) tidak ada maka mencarikan solusi hukumnya wajib, sebab jika tidak diadakan maka akan terjadi bencana yang lebih besar karena tidak adanya pendanaan itu. Untuk alasan itulah tujuan penggunaan Pajak (Dharibah).
Zakat sudah sangat jelas tujuan penggunaannya dalam QS. At-Taubah [9]:60, yaitu untuk asnaf yang delapan, yaitu: Faqir, Miskin, ‘Amil, Mu’allaf, Riqab (budak), Gharim (orang yang berutang), Fisabilillah (orang yang berjuang dijalan Allah) dan Ibnu Sabil (orang yang terlantar dalam perjalanan). Hadits-hadits yang memperjelas juga sangat banyak, sehingga tidak perlu diragukan lagi tentang untuk apa uang Zakat digunakan. Zakat digunakan untuk “orang” bukan “lembaga”, yang harus dinikmati oleh “orang lain” bukan”Muzakki” itu sendiri, diserahkan kepada mereka secepatnya tanpa ditunda-tunda. Oleh sebab itu, Zakat sudah tentu tidak bisa dipakai untuk gaji PNS, polisi, guru, dan biaya umum negara lainnya. Tidak juga untuk membangun Masjid, sebab jika dipakai untuk membangun Masjid maka si kaya ikut menikmati uang Zakat itu, padahal Zakat adalah “kotoran” yang harus dibuang dari harta.
Sedangkan Waqaf harus digunakan untuk barang-barang yang permanen seperti membeli semen, pasir, karpet, tanah dan sejenisnya yang memiliki manfaat jangka panjang. Oleh sebab itu, si penerima Waqaf  harus hati-hati dan memastikan uang Waqaf dibelanjakan untuk barang yang permanen, bukan untuk biaya rutin seperti gaji petugas masjid, biaya listrik, telepon, kebersihan dan sejenisnya. Biaya-biaya yang terakhir ini justru harus dibiayai dari Infaq yang artinya belanja. Dengan demikian, kesalahan pahaman penggunaan dana Zakat, Infaq, Waqaf dan Pajak (Dharibah) semestinya tidak terjadi lagi baik selaku pengurus Mesjid atau selaku pengurus Negara (pemerintah). Wallahu a’lam. (Gfm, Okt, 2015).

 Gusfahmi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

0 comments:

Posting Komentar