Sering kita mendengar pengumuman dari pengurus Masjid, terutama 
menjelang khatib naik mimbar Shalat Jum’at bahwa Masjid sedang 
membutuhkan dana, baik berupa Infaq, Zakat, Waqaf dan Shadaqah yang 
kesemuanya itu akan digunakan untuk penyelesaian pembangunan Masjid yang
 sedang terbengkalai. Artinya, semua jenis penerimaan dana akan dipakai 
sepenuhnya untuk membangun fisik Masjid. Pertanyaannya adalah,”Boleh hal
 tersebut menurut Islam?”
Islam sebagai sistem kehidupan yang komprehensif telah mengatur 
seluruh aspek, baik aspek ibadah kepada Allah SWT maupun aspek mu’amalah
 sesama manusia berupa ekonomi, politik, budaya, pertahanan keamanan, 
dan aspek lainnya. Dalam masalah ekonomi, Rasulullah SAW sebagai Kepala 
Negara Islam pertama di Madinah tahun 632-633 M (Tahun 1-10 H) telah 
mencontohkan bagaimana cara mengatur perekonomian, baik individu 
(keluarga) atau masyarakat (negara).
Ada 6 (enam) kebutuhan pokok manusia menurut Islam yaitu: [1] 
makanan; [2] pakaian; [3] perumahan; [4] keamanan; [5] kesehatan; [6] 
pendidikan. Makanan, pakaian dan perumahan adalah kebutuhan pokok 
individu (keluarga) yang wajib disediakan oleh seorang ayah. Dalilnya 
adalah QS. Al-Baqarah [2]:233 yang artinya,”Dan kewajiban seorang ayah 
menanggung nafkah (makanan-pen) dan pakaian mereka dengan cara yang 
ma’ruf (patut); QS. An-Nisa’ [4]:5 yang artimya,”Berilah mereka belanja 
dan pakaian (dari hasil harta itu); dan QS. At-Thalaq [65]:6 yang 
artinya,”Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal 
menurut kemampuanmu”. Hadits-hadits yang menjelaskan ayat tersebut juga 
banyak sekali. Tiga kebutuhan pokok pertama ini harus dibiayai oleh 
seorang ayah dari Infaq (nafkah) yang artinya belanja rutin yang mesti 
ada setiap hari dan habis dipakai untuk konsumsi. Jadi makanan, pakaian,
 dan perumahan wajib diurus oleh seorang ayah, dimana dia wajib 
mengadakannya. Jika kebutuhan pokok pertama ini tidak ada, para ulama 
berpendapat bahwa seorang ayah boleh berutang, bahkan ada ulama yang 
mengatakan wajib berutang supaya bisa terpenuhi. Ketiga kebutuhan pokok 
pertama ini jika tidak ada, maka status seseorang sebagai Muslim akan 
terancam bahkan punah. Mengapa? Karena tanpa makanan dia akan mati, 
tanpa pakaian dia telanjang (terbuka aurat), tidak bisa Shalat. Tanpa 
perumahan maka mereka tidak bisa beribadah dan menjaga aurat keluarga. 
Oleh sebab itu, Sistem Ekonomi Islam mengatur bahwa ketiga hal pokok itu
 harus ada dan wajib diusahakan oleh seorang ayah. Cara pemenuhannya 
disebut Infaq (nafkah).
Tiga kebutuhan tingkat kedua yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan
 adalah kebutuhan individu dan keluarga, tapi tidak boleh diusahakan 
secara individu, melainkan harus secara bersama-sama (ijtima’iyyah) yang
 harus diatur oleh pemerintah (Ulil Amri). Mengapa? Agar tidak terjadi 
kekacauan. Meskipun kita seorang jagoan, tidak boleh menghukum pencuri 
sendirian jika ada kemalingan di rumah tapi dilakukan oleh Polisi. 
Begitu juga seorang dokter, tidak boleh menyuntik dirinya sendiri namun 
harus melalui pengobatan oleh pihak Rumah Sakit. Seorang guru pun 
demikian tidak mengajar anaknya sendiri, namun harus mendidik anaknya di
 sekolah (madrasah). Ketiga kebutuhan pokok tingkat kedua ini sebetulnya
 adalah kewajiban seorang ayah namun dalam pelaksanaannya harus 
dilakukan secara bersama-sama dan diatur oleh pemerintah. Oleh sebab 
itu, dalam pendanaan keamanan (membayar biaya polisi dan peralatannya), 
kesehatan (menggaji dokter dan peralatannya), pendidikan (menggaji guru 
dan peralatannya) harus ada sumber dana. Dari mana?
Pada zaman Pemerintahan Rasulullah SAW, biaya gaji tentara, dokter, 
guru dan biaya umum negara dibiayai dari: [1] Ghanimah (harta rampasan 
perang) sebagaimana dapat kita lihat dalam QS. Al Anfaal [8]:41 dan; [2]
 Fa’i yaitu harta yang diperoleh negara namun tidak melalui peperangan 
(QS. Al Hasyr [59]:6); [3] Jizyah yaitu Pajak Kepala yang dipungut dari 
Kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi (QS. At Taubah [9]:29); [4] Kharaj yaitu
 Pajak hasil tanah atas tanah taklukan yang menjadi milik negara; dan 
[5] ‘Ushr yaitu bea masuk atas barang dagang yang memasuki wilayah 
pemerintah negara Islam (lihat: Gusfahmi, Pajak Menurut Syari’ah, 2007).
 Namun ke-5 jenis penghasilan negara tersebut di Indonesia saat ini 
tidak ada. Oleh sebab itu, sumber pembiayaan keamanan, kesehatan dan 
pendidikan tersebut dicarikan solusi baru yaitu Pajak (Dharibah), 
yaitu,”Pemungutan kepada kaum Muslim sebagai tambahan kewajiban setelah 
Zakat untuk mendanai kebutuhan mereka sendiri yaitu keamanan, kesehatan 
dan pendidikan”.
Penulis pernah bertanya kepada seorang dosen perguruan tinggi Islam, 
bagaimana pendapatnya tentang Zakat dan Pajak? Beliau menjawab 
bahwa,”Setahu saya yang ada dalam Islam hanyalah Zakat untuk orang Islam
 dan Jizyah untuk orang kafir. Jadi tidak ada Pajak dalam Islam” kata 
beliau. Penulis agak tertegun, namun tidak meneruskan pertanyaan yang 
amat sangat akan membuat beliau susah menjawab, yaitu, “Kalau begitu 
gaji Bapak sebagai dosen PTN uangnya bersumber dari mana?”. Bukankah 
gaji dosen, guru, polisi, PNS dan lainnya dibayar dari uang Pajak? Kalau
 Pajak itu tidak ada dalam Islam, bagaimana nasib uang gaji yang mereka 
terima?
Dalam sebuah ceramah ditempat lain penulis juga pernah mendengar 
langsung seorang da’i menyampaikan ceramah bahwa Pajak itu haram! 
Penulis tidak habis pikir bagaimana beliau sampai berfatwa demikian. 
Bukankah jalan raya yang mereka lalui saat ini dibangun dengan uang 
Pajak, lampu-lampu jalan yang mereka nikmati, pelayanan kesehatan di 
Puskesmas dibiayai dari Pajak. Jasa keamanan mengatur lalu lintas oleh 
Polisi dibiayai dari Pajak. Termasuk pembangunan gedung-gedung sekolah 
(madrasah) serta bantuan pembangunan sarana ibadah seperti Masjid juga 
dari uang Pajak. Kalau uang pajak itu haram, tentu barang-barang yang 
digunakan dari uang pajak itu juga haram? Benarkah fatwa da’i bahwa 
Pajak itu haram? Penulis yakin fatwa demikian keluar karena belum 
fahamnya seorang da’i tentang sistem ekonomi Islam yang mengatakan dalam
 ushul fiqih,”Ma latimul wajib illa bihi fahuwal wajib”, 
artinya apa-apa yang diperlukan untuk terlaksananya sebuah kewajiban, 
maka dia menjadi wajib. Seperti wudhuk sebelum Shalat menjadi wajib 
hukumnya, karena dia adalah syarat sah Shalat. Demikian pula mencari 
solusi pembiayaan, tatkala sumber yang asli (Ghanimah, dll) tidak ada 
maka mencarikan solusi hukumnya wajib, sebab jika tidak diadakan maka 
akan terjadi bencana yang lebih besar karena tidak adanya pendanaan itu.
 Untuk alasan itulah tujuan penggunaan Pajak (Dharibah).
Zakat sudah sangat jelas tujuan penggunaannya dalam QS. At-Taubah 
[9]:60, yaitu untuk asnaf yang delapan, yaitu: Faqir, Miskin, ‘Amil, 
Mu’allaf, Riqab (budak), Gharim (orang yang berutang), Fisabilillah 
(orang yang berjuang dijalan Allah) dan Ibnu Sabil (orang yang terlantar
 dalam perjalanan). Hadits-hadits yang memperjelas juga sangat banyak, 
sehingga tidak perlu diragukan lagi tentang untuk apa uang Zakat 
digunakan. Zakat digunakan untuk “orang” bukan “lembaga”, yang harus 
dinikmati oleh “orang lain” bukan”Muzakki” itu sendiri, diserahkan 
kepada mereka secepatnya tanpa ditunda-tunda. Oleh sebab itu, Zakat 
sudah tentu tidak bisa dipakai untuk gaji PNS, polisi, guru, dan biaya 
umum negara lainnya. Tidak juga untuk membangun Masjid, sebab jika 
dipakai untuk membangun Masjid maka si kaya ikut menikmati uang Zakat 
itu, padahal Zakat adalah “kotoran” yang harus dibuang dari harta.
Sedangkan Waqaf harus digunakan untuk barang-barang yang permanen 
seperti membeli semen, pasir, karpet, tanah dan sejenisnya yang memiliki
 manfaat jangka panjang. Oleh sebab itu, si penerima Waqaf  harus 
hati-hati dan memastikan uang Waqaf dibelanjakan untuk barang yang 
permanen, bukan untuk biaya rutin seperti gaji petugas masjid, biaya 
listrik, telepon, kebersihan dan sejenisnya. Biaya-biaya yang terakhir 
ini justru harus dibiayai dari Infaq yang artinya belanja. Dengan 
demikian, kesalahan pahaman penggunaan dana Zakat, Infaq, Waqaf dan 
Pajak (Dharibah) semestinya tidak terjadi lagi baik selaku pengurus 
Mesjid atau selaku pengurus Negara (pemerintah). Wallahu a’lam. (Gfm, 
Okt, 2015).
 Gusfahmi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

0 comments:
Posting Komentar