13 Mei 2015

Rabu, Mei 13, 2015
"Syekh, saya telah mencoba untuk menuju ‘manunggaling kawula gusti’.”
Kebo Kenongo menghampar serban di depannya. Lalu berdiri.
“Andika sekarang akan shalat?” Syekh Siti Jenar duduk bersila di sampingnya.
“Bukankah Andika telah mencoba menuju maunggaling kawula gusti?”
“Benar, namun saya belum sampai. Sekarang saya akan shalat.” Terang Kebo Kenongo.
“Tujuan Andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum.
“Bukankah shalat jalan kita untuk menuju manunggaling kawula gusti, Syekh?” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya.
“Bukan.” ujarnya pendek. Syekh Siti Jenar memutar tasbih seraya mulutnya komat-kamit berdzikir.
“Apakah harus berdzikir menuju maunggaling kawula gusti, Syekh?” tanyanya kemudian.
“Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar pendek.
“Lantas, untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya.
“Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua itu upaya untuk mendekatkan diri dengan Allah?”
“Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata, kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri hendak shalat.
“Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan menuju manunggaling kawula gusti?” tanya Kebo Kenongo selanjutnya.
“Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Lantas?”
“Manunggaling kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.” terang Syekh Siti Jenar.
“Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut .
“Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal. Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah setelah selesai mendirikan nya.” tambahnya.
“Baiklah, Syekh.”
Keadaan di padepokan Syekh Siti Jenar sore itu terasa segar. Panas matahari tidak menyengat seiring dengan bayang-bayang manusia yang kian meninggi.
Udara pegunungan terasa sejuk, pepohonan dan tumbuhan berdaun lebat menambah suasana asri.
Padepokan yang ditata sedemikian rupa menambah khusuk para pencari ilmu.
“Syekh…” Kebo Kenongo mendekat, “Shalat saya sudah selesai.”
“Baiklah,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, “Apa yang Andika rasakan saat shalat?”
“Tidak ada.”
“Tidakah merasakan sejuknya udara pegunungan? Tidakah Andika melihat kain serban yang terhampar di tempat sujud?” lanjut Syekh Siti Jenar.
“Tidak,” jawab Kebo Kenongo.
“Tidakah Andika mendekati Allah?” tanyanya kemudian.
“Saya tidak merasakannya. Tidak pula menjumpainya.” ujar Kebo Kenongo.
“Mungkin shalat saya terlalu khusuk.”
Syekh Siti Jenar menengadah ke langit,lalu duduk bersila di atas rumput hijau yang dihampari tikar pandan. Gerak-geriknya tidak luput dari pandangan Kebo Kenongo.
“Lihatlah!” kedua tanganya ditumpuk di bawah dada. Tiba-tiba tubuhnya terangkat dari tikar yang didudukinya dengan jarak satu jengkal, dua jengkal, satu hasta, dua depa.
“Apa yang terjadi, Syekh?” Kebo Kenongo garuk-garuk kepala, keningnya berkerut-kerut.
“Ini hanyalah bagian terkecil akibat dari pendekatan dengan Allah…”
dalam keadaan melayang, matanya menatap tajam ke arah Kebo Kenongo.
“Hasil pendekatan? Jadi bukan manunggaling kawula gusti?” dengan menahan kedip Kebo Kenongo bertanya.
“Saya belum menerangkan tentang manunggaling kawula gusti. Namun kita tadi berbicara tentang upaya pendekatan…” terang Syekh Siti Jenar,perlahan menurukan kaki satu persatu hingga akhirnya kembali menyentuh tanah.
“Dengan jalan shalatkah?” tanya Kebo Kenongo. “Bukankah saya tadi waktu shalat tidak menemukan apa pun,bahkan tidak bisa melakukan seperti yang Syekh perlihatkan.”
“Jangan salah ini bukan shalat! Namun shalat adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tadi merupakan syari’at bagi pemeluk Islam, juga ibadah bagi hamba atau abdi Allah. Maka hukumnya wajib.” urai Syekh Siti Jenar, “Namun ketika orang belum lagi menemukan hakikat dari shalat, itulah seperti yang Ki Ageng Pengging rasakan.”
“Hampa.” desis Kebo Kenongo, seraya menatap Syekh Siti Jenar dengan penuh kekaguman.
“Kebanyakan orang adalah seperti itu,Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan .
Jika demikian saya baru berada pada tahapan syari’at. Bisakah saya menemukan hakikat yang dimaksud oleh Syekh Siti Jenar?” Kebo Kenongo seakan-akan kehilangan gairah.
“Hakikat menuju pada pendekatan sebelum manunggaling kawula gusti, maka seperti yang pernah saya jelaskan pada Ki Ageng. Kita meski berbeda agama namun bukanlah Andika harus memaksakan syari’at ajaran yang saya miliki untuk Ki Ageng kerjakan. Karena kebiasaan Andika adalah bersemadi. Bukankah dengan cara itu Andika merasakan hal yang berbeda, terutama dalam upaya pendekatan.” Syekh Siti Jenar kembali mengurainya.
“Benar, Syekh.” sejenak Kebo Kenongo merenung.
“Syekh, ternyata saya lebih bisa merasakan mendekati Sang Pencipta dengan cara bersemadi.” Kebo
Kenongo melangkah pelan di samping Syekh Siti Jenar.
“Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh Siti Jenar pandangannya tertunduk ke ujung kaki.
“Benar, seperti Syekh sampaikan. Cara pendekatan dan kebiasaan ternyata tidak mudah untuk diubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang berbeda ternyata memiliki tujuan sama.”
Kebo Kenongo menghela napas dalam-dalam.
“Kenapa? Ya, karena itulah yang disebut manunggal. Satu.” terang Syekh Siti Jenar, menghentikan
langkahnya seraya matanya menatap puncak gunung yang berkabut.
“Benar, Syekh. Orang melakukan tata cara dan ritual dalam wujud pisik yang berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.” tambah Kebo Kenongo.
“Satu harapan untuk mendapatkannya. Mendekatkannya, meraihnya dan manunggal.” terang Syekh Siti Jenar.
“Namun belum manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatulwujud.”
“Lantas?”
“Mereka mendekatkan diri kepadanya bukan untuk tujuan manunggal, tetapi untuk mengajukan berbagai macam permohonan dan keinginan.
Karena mereka lebih mencintai urusan lahiriah yang cenderung duniawi ketimbang urusan alam kembali, akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah Kebo Kenongo.
“Bukankah ada juga orang yang tidak terlalu tertarik pada urusan lahiriah saja? Namun mereka menginginkan kesempurnaan hidup dan masuk dalam tahap akrab dengan Sang Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya mendarat pada wajah Syekh Siti Jenar yang bercahaya.
“Itulah yang jumlahnya sangat sedikit, Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memberi isyarat dengan jari jemari tangannya.
“Kecenderungan orang melakukan pendekatan pada Allah karena mengharapkan sesuatu,
atau orang tadi dalam keadaan susah. Ketika mereka merasa senang dan bahagia, lupalah kepadanya.”
“Mengapa, Syekh?”
“Karena tujuan pendekatan mereka untuk meraih dan memohon kebaikan lahiriah saja.” terang Syekh Siti Jenar.
“Ketika merasa sudah terkabul keinginannya, kemudian melupakan Allah.” Bukankah tidak semua orang seperti itu, Syekh?” tanya Kebo Kenongo.
“Tidak, hanya hitungannya lebih banyak.” Syekh Siti Jenar melipat jari jemarinya. “Sangat sedikit orang yang punya kecenderungan untuk mengikat keakraban dengan Sang Pencipta. Padahal tahap terkabulnya permohonan mereka bukan karena akrab, tapi dalam Supaya mendekat
dan kemahamurahannya saja. Jika seandainya mereka sudah merasa akrab dan berada dalam keakraban tidak mungkin melepas ikatannya semudah itu.” urainya. “Jika sudah akrab saya kira tidak
mungkin orang untuk menjauh. Karena untuk mengakrabi perlu upaya mendekatan yang memerlukan waktu tidak sebentar.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Ya, maka tahap akrab dengan Allah itulah ketika orang dalam keadaan ma’rifat. Ketika kita tidak memiliki lagi
garis pemisah untuk saling bertemu. Kapan pun, dimanapun, tidak ada lagi sekat-sekat dan ruang kosong sebagai jeda untuk mengakrabinya.” Syekh Siti
Jenar menghela napas dalam-dalam.
“Ya, ya, benar, Syekh.” Kebo Kenongo berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya.
“Nah, pada tahap akrab itulah kita meminta apa pun tidak mungkin tertolak. Mana ada keakraban tanpa adanya keterikatan kasih sayang?”
Syekh Siti Jenar perlahan melangkah lagi.
“Tentu, Syekh. Saya sangat paham.”
Kebo Kenongo terkagum-kagum dengan uraian Syekh Siti Jenar.
“Keakraban dengan Allah tidak mudah. Namun ketika kita sudah berada dalam lingkarnya tidak mudah pula untuk melepas.” Syekh Siti Jenar berdiri mematung di bawah pohon kenanga.
“Benar, meski saya pun dengan susah payah mendekat untuk meangkrabinya belum juga sampai. Karena upaya saya bukan hanya untuk mendekat dan mengajukan berbagai permohonan. Namun ingin mengakrabinya.” ujar Kebo Kenongo.
“Jika dalam keadaan sangat akrab bukankah tidak memohon pun akan diberinya?”
“Ya,” ujar Syekh Siti Jenar. “Berjuanglah dan bergeraklah ke arah sana. Jika sudah tercapai, keinginan lahiriah pun secara perlahan tidak lagi menjadi persoalan yang sangat istimewa. Itu semua dirasakan hanyalah sebagai pelengkap lahiriah saja. Sebagai syarat hidup.”
“Benar, Syekh.” Kebo Kenongo kembali mengiringi langkah Syekh Siti Jenar.
“Saya pun masih keturunan Majapahit. Namun saya tidak punya hasrat sedikitpun untuk menjadi penguasa. Tujuan saya bukan itu, tetapi seperti Syekh terangkan tadi.”
“Keinginan lahiriah itulah yang memenjarakan kita menuju ma’rifat. Ruang kosong, antara, jarak, jeda, pemisah, yang merintangi keakraban kita dengan Sang Pencipta.” Terang Syekh Siti Jenar. “Perintang tadi berupa semua keinginan lahiriah yang distimewakan oleh nafsu keduniawian, karena ingin berkuasa, ingin kekayaan, dan banyak keinginan. Itu semua yang dinomor satukan. Lahirnya keserakahan.”
“Jika itu yang masuk ke dalam jiwa dan pikiran, hati ini akan terasa gelap.” Ujar Kebo Kenongo. “Mana mungkin menuju akrab untuk mendekat pun kita harus mencari cahaya jika tidak tentu membabi buta.” “Nah, itulah penggoda manusia untuk meraih keakraban dengan Allah.
Jernihkan hati, tenangkan jiwa, damaikan gejolak nafsu, merupakan upaya untuk membuka jalan
keakraban.” tambah Syekh Siti Jenar. “Manusia terkadang sangat sulit menyusuri jalan yang penuh dengan godaan tadi. Karena dalam dirinya memiliki nafsu yang sangat sulit untuk dikendalikan. Itulah upaya perjuangan menuju keridloannya. Menuju akrab pada Allah. Terkadang manusia hanya
sebatas berucap dibibir, bahwa dirinya telah akrab tetapi dalam kenyataannya tidak. Lalu mengakui bahwa saya telah ma’rifat. Sebenarnya ma’rifat bukan sebuah pengakuan, tetapi realitas dalam tahapan akrab. Terbelenggulah dengan ikatan kata-kata.”
“Ya.” Kebo Kenongo menghentikan langkahnya seiring dengan Syekh Siti Jenar. “Adakah perbedaan antara ma’rifat dengan akrab? Atau memang sama ma’rifat adalah akrab, sedangkan akrab adalah ma’rifat?” tanyanya kemudian.
“Orang yang sudah ma’rifat tentu akrab. Orang yang sudah akrab tentu sudah ma’rifat.” terang Syekh Siti Jenar, jubahnya yang berwarna hitam berlapis kain merah tersibak angin pegunungan. “Ma’rifat itu sendiri?” kerut Kebo Kenongo.
“Tahu, Mengetahui.” berhenti sejenak.
“Namun tidak cukup itu, tentu saja harus diurai dengan maksud dan makna yang terarah. Mengetahui tentang apa? Tahu tentang apa? Tentu saja tentang dirinya dan Tuhannya. Bukankah terkait dengan makna akrab. Sehingga ada istilah kalau ingin mengenal Gustimu, Allahmu, maka harus mengenal dirimu sendiri.” Lanjut Syekh Siti Jenar.
“Saya pernah mendengar, Syekh.” Kebo Kenongo merenung.
“Bukankah Tuhan itu lebih dekat dari pada urat leher dan lehernya, bola mata putih dengan hitamnya?” “Tentu,” Syekh Siti Jenar melirik ke samping.
“Namun itu sifatnya umum. Tidak masuk ke dalam makna akrab. Bahkan ma’rifat juga mungkin tidak.”
“Bukankah untuk menuju ma’rifat pun tidak mudah, Syekh? Tetapi ada tahapannya, yaitu Syariat, hakikat, tharikat, dan akhirnya ma’rifat.” Ujar Kebo Kenongo.
“Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar memutar lehernya seiring dengan tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan.
“Bukan berarti orang harus memahami tahapan tadi. Karena tanpa memahami tahapan tadi pun
orang bisa berada dalam tingkat ma’rifat, disadari atau diluar kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tetang sebuah istilah, yang penting adalah sebuah pencapaian, lantas bisa merasakannya.”
“Bukankah istilah tadi hanya ada dalam agama Islam yang dianut Syekh sendiri.” tambah Kebo Kenongo.
“Sedangkan dalam agama yang saya pahami tentu saja punya nama yang berbeda.”
“Benar,” timpal Syekh Siti Jenar.
“Namun tetap maksudnya sama. Hanya sebutannya saja yang berbeda.
Sehingga saya tadi mengurai seperti itu.”
“Ya.” Kebo Kenongo menganggukan kepala. “Lantas ketika Syekh melayang apa yang terjadi?” tanya Kebo Kenongo.
“Saya bisa melayang karena bisa mengatur berat tubuh.” Syekh Siti Jenar menatap langit, “Lihatlah di sana, Ki Ageng! Mengapa burung itu bisa beterbangan, lalu saling kejar di ketinggian yang tidak bisa kita jangkau karena keterbatasan.”
“Tapi kenapa syekh sendiri bisa meloncati keterbatasan tadi?”
“Sebenarnya bukan saya bisa meloncati keterbatasan, namun kita bisa mengatur batas, menjauh dan mendekatkan.” terang Syekh Siti Jenar.
“Maksud Syekh?” kerut Kebo Kenongo. “Samakah dengan yang saya dengar tentang Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?”
“Ya, namun berbeda.”
“Maksudnya?”
“Jika Rasulallah Isra Mi’raj dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Sedangkan saya tidak.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Saya kurang paham, Syekh?” Kebo Kenongo memijit keningnya.
“Ya, saya tidak bisa seperti Rasulullah. Sebab saya bukan beliau…” terang Syekh Siti Jenar.
“Namun saya bisa menyatu dengan kekuatannya dan dzatnya. Hingga ketika saya menghendaki berada di pusat Negeri Demak dengan sekejap itu bukan persoalan yang mustahil.” tambahnya.
“Benarkah itu, Syekh?” Kebo Kenongo semakin mengkerutkan dahinya.
“Jika Ki Ageng Pengging ingin bukti, maka tataplah saya! Jangan pula Ki Ageng berkedip! Karena kepergian saya ke pusat kota Demak Bintoro bagaikan kedip, kembali pun dihadapan Ki Ageng seperti itu pula. Saya dari pusat Kota Demak Bintoro akan membawa makanan segar.”
Usai berkata-kata, samarlah wujud Syekh Siti Jenar, hingga akhirnya lenyap dari pandangan Kebo Kenongo.
“Lha,” Kebo Kenongo menggosok- gosok kedua matanya. “Benarkah yang sedang terjadi dan kuperhatikan ini?”
“Inilah makan segar dari pusat kota Demak Bintoro, Ki Ageng.”
“Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo terperanjat, ketika dihadapannya Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali seraya menyodorkan makanan hangat dengan bungkus daun pisang.
“Itulah yang bisa saya lakukan, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk bersila di atas hamparan tikar pandan, dihadapannya terhidang dua bungkus makanan hangat yang beralaskan daun pisang.
“Sekarang marilah kita makan alakadarnya.”
“Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan anggukan.
“Saya tidak sanggup untuk memikirkannya, Syekh? Kenapa Andika hanya dalam kedip pergi ke pusat kota Demak Bintroro untuk mendapatkan hidangan makan pagi. Padahal jika kita bejalan dari padepokan ini ke pusat kota Demak memakan waktu satu hari satu malam?”
“Benar, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Namun bukankah kita tidak sedang berbicara tentang perjalanan jasad?”
“Maksud, Syekh?”
“Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika saya pernah bercerita tentang Kanjeng Nabi Sulaiman AS.?” ujar
Syekh Siti Jenar. “Yang pernah Syekh baca dari ayat suci Al-Qur’an itu? Saya agak lupa.” Kebo
Kenongo menempelkan telunjuk di dahinya.
“Ketika Kanjeng Nabi Sulaiman meminta kepada para pengagung negaranya untuk memindahkan kursi Ratu Balqis ke istananya. Siapakah yang bisa memindahkan singgasana Ratu Balqis dalam waktu yang sangat cepat, hingga jin Ifrit menyanggupi.”
“Ya, saya ingat, Syekh.” Kebo Kenongo tersenyum. “Namun bukankah Jin Ifrit itu terlalu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman, karena dia meminta waktu saat Baginda Nabi bangkit dari tempat duduk maka singgasana akan pindah…”
“Benar, waktu seperti itu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman. Karena bangkit dari duduk memerlukan waktu beberapa saat. Hingga berkatalah seorang ulama serta mengungkapkan kesanggupannya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng Nabi Sulaiman berkedip maka Singgasana Ratu Balqis pun akan berhasil dia bawa. Hanya satu kedipan.” terang Syekh Siti Jenar. “…dan terbuktilah kehebatan ulama tadi.”
“Ya, benar, Syekh.” ujar Kebo Kenongo, “Itulah ilmu Allah. Mana mungkin bisa dicerna dan dipahami dengan keterbatasan berpikir manusia.”
“Tidak semua manusia seperti itu, Ki Ageng.” terang Syekh Siti Jenar.
“Itulah manusia kebanyakan, terkadang perkataannya dan pendalamannya dibidang ilmu dangkal. Namun meski pun memiliki kedangkalan berpikir terkadang dalam dirinya mencuat pula rasa angkuh dan sombongnya. Jika hal itu terjadi maka akan gelap untuk meraba dan meraih yang saya maksud.”
Benar, Syekh. Hanya kejernihan berpikir dan menerima yang bisa membukakan kebodohan dan
kekurangan diri kita…” timpal Kebo Kenongo.
“Namun dalam uraian tadi apa yang membedakan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Jin Ifrit dan Ulama?”
“Tentu saja sangat berbeda.” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, seraya menatap langit. “Jin itu makhluk gaib, tidak aneh bagi bangsa mereka terbang, melayang-layang di angkasa, melesat secepat angin, menembus lubang sekecil lubang jarum, bahkan merubah wujud berbentuk apa pun yang dikehendakinya.”
“Bisa pula tidak terlihat oleh manusia?”
“Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat ghaib itulah. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menembus alam jin. Sebaliknya hanya jin tertentulah yang bisa menampakan diri pada manusia.” terang Syekh Siti Jenar.
“Sehebat apa pun bangsa jin tentunya tidak bisa melebihi manusia.”
“Bukankah pada zaman ini banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu jin bahkan mengabdikan diri, karena ingin mendapat kesaktiannya.” Timpal Kebo Kenongo.
“Para dukun sakti saya rasa tidak terlepas dari kekuatan dan kesaktian atas bantuan bangsa jin yang dijadikan tuannya.”
“Itulah kedangkalan berpikir manusia, Ki Ageng. Mereka tidak melihat asal usul, jika manusia itu makhluk yang paling mulia di banding yang lainnya. Termasuk jin.”
“Jika demikian, Syekh. Berarti kita harus menaklukan jin agar bisa memerintah mereka dan memanfaatkan kekuatannya. Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?”
“Kenapa tidak mungkin. Bukankah Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri prajuritnya terdiri dari bangsa jin,
selain binatang dan manusia?”
“Tapi untuk menaklukan bangsa jin tentu saja ilmu kita harus di atas mereka, Syekh?”
“Tentu saja, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Namun jika kita sudah memiliki ilmu dan kesaktian sebetulnya menjadi tidak perlu memiliki dan menaklukan jin. Karena kita bukan raja seperti Kanjeng Nabi Sulaiman, yang memerlukan prajurit dan abdi setia. Untuk dijadikan balatentara dan membangun negara, dengan arsitek-arsitek yang kokoh. Jin dijaman nabi Sulaiman di suruh menyelami laut untuk mengambil mutiara, di suruh membangun keraton berlantaikan kaca yang membatasi kolam dibawahnya.”
“Meski bukan raja kita juga butuh prajurit pengawal, Syekh?”
“Saya rasa tidak perlu bangsa jin yang dijadikan prajurit pengawal. Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad juga tidak dikawal oleh bangsa jin, namun selalu disertai oleh Malaikat Jibril kemana
pun beliau pergi.”
“Lalu haruskah Kanjeng Nabi menundukan Malaikat agar mengawalnya? Sakti mana dengan jinnya Kanjeng Nabi Sulaiman?”
“Tentu saja Malaikat itu lebih sakti dari bangsa jin. Karena yang mencabut nyawa jin juga Malaikat seperti halnya nyawa manusia. Kanjeng Nabi Muhammad pun tidak perlu menundukan Malaikat, karena dengan sendirinya Malaikat akan di utus oleh Allah untuk menyertai orang-orang shalih. Apalagi Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu Allah yang disampaikan kepada Kanjeng Nabi Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar.
“Syekh sendiri siapa yang mengawal?”
“Karena saya manusia biasa, bukan nabi dan juga keshalihannya tidak saya ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah mengutus Malaikat untuk mengawal atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak dikawal oleh bangsa jin…”
Syekh Siti Jenar kembali duduk bersila.
“Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?”
“Ya, itu sedikit ilmu yang saya pelajari dari keMaha Besaran Allah. Mungkin yang mengawal saya kemana pun pergi adalah ilmu yang saya miliki. Sehingga dengan ilmu itu saya pun bisa memanggil prajurit Allah yang empat.” tambah Syekh Siti Jenar.
“Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo.
“Apakah para Malaikat? Kalau di dalam agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata, penguasa triloka.” ”Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya tidak akan berbicara tentang para Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan matanya menyapu wajah Kebo Kenongo.
“Namun yang akan saya bicarakan prajurit Allah. Ingat bukan Malaikat,”
“Kenapa bukan Malaikat? Bukankah Malaikat bisa mencabut nyawa manusia dan bangsa jin yang goib?” tanya Kebo Kenongo.
“Meskipun demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda dengan kita. Hanya yang membedakan kita dengan Malaikat, dia adalah goib. Malaikat memiliki keimanan tetap dan tidak pernah berubah, berbeda denganbangsa manusia dan jin. Namun meski bagaimana pun tetap saja manusia makhluk yang paling mulia, tetapi sebaliknya derajat kemulian yang diberikan Allah kepada manusia akan lenyap. Bahkan manusia akan didapati sebagai makhluk yang lebih rendah dan hina dibawah binatang.” Urai Syekh Siti Jenar.
“Lalu prajurit yang dimaksud?”
”Yang dimaksud prajurit tentu saja penyerang, penghancur, perusak, dengan segala tugas yang diembannya.”
“Mungkinkah mirip dengan Dewa Syiwa?”
“Mungkin, Ki Ageng.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak.
“Sedangkan prajurit Allah yang empat disini pun fungsi dan tugasnya untuk menghancurkan, merusak, dengan tujuan manusia berbalik pada jalan lurus. Mengingatkan kekeliruan yang pernah diperbuat oleh para khalifah bumi. Tujuannya tentu saja menyadarkan, jika yang mendapatkan taufiq dan hidayah. Adzab dan siksa bagi mereka yang tidak pernah mau bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus.”
“Lalu siapa yang dimaksud dengan prajurit Allah yang empat tadi, Syekh?” “Prajurit Allah yang empat itu diantaranya…” Syekh Siti Jenar melangkahkan kakinya perlahan.
“…pertama adalah angin. Lihatlah angin yang lembut dan sepoi-sepoi, namun perhatikan pula jika angin itu mulai dahsyat serta bisa memporak-porandakan bangunan sehebat apapun, menghancurkan pohon-pohon yang tertancap kokoh, menerbangkan segala hal yang mesti diterbangkannya, bahkan menghancurkan sebuah kota atau perkampungan. Lantas ketika angin mengamuk siapa yang bisa membendung dan menghalang-halangi?”
“Tidak ada, Syekh.”
“Itulah kehebatan prajurit Allah yang disebut manusia angin pada syariatnya. Padahal angin itu hakikatnya membawa pesan pada manusia, pada para khalifah bumi, agar menyadari kekeliruan yang pernah diperbuatnnya. Manusia yang melakukan keruksakan di muka bumi maka akan kembali pada perbuatannya, akibatnya. Namun dalam hal ini manusia hanya memandang sebelah mata pada hakikat angin. Mereka lebih banyak bercerita dan memandang akan hal yang berbau logika dan penalaran semata, karena itu semua akibat dari keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang manusia miliki tidak mencakup berbagai hal, namun terbatas hanya pada bidangnya saja. Sehingga manusia terkadang melupakan Allah yang memiliki lautan ilmu.” urai Syekh Siti Jenar, seraya langkahnya terhenti. Sejenak berdiri di tepi jalan, matanya menyapu tingginya puncak gunung yang diselimuti awan putih yang berlapis-lapis.
“Bukankah manusia akan selalu merasa pintar jika seandainya berhasil menangani sedikit persoalan saja, Syekh?”
“Itulah manusia. Namun tidak semuanya seperti itu. Tetapi itulah watak orang kebanyakan. Maka jika demikian tertutuplah pintu ilmu berikutnya, terhalang oleh keangkuhan dan kecongkakan yang terselip dalam batinnya.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Berbeda jika dibandingkan dengan manusia yang batinnya terang. Dia tidak akan pernah berbuat congkak, apalagi sombong, yang bisa membutakan mata hatinya. Sehingga orang seperti itu akan selamanya sanggup memahami segala hal dengan jernih….”
“…sangat sulit, Syekh.” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam.
“…pantas saja diri Syekh bisa terangkat pada derajat ma’rifat, karena telah sanggup membersihkan batin dari noda-noda tadi. Mungkin saya sulit mencapai ma’rifat tadi karena batin ini masih dijejali dan dikotori hal-hal yang membutakan, menghalangi, mengganggu dan merintangi. Pada intinya masih berbau keangkuhan, kesombongan, angkara, rasa iri dan dengki. Namun rasanya sulit untuk melepaskan hal-hal tadi, Syekh. Mungkin karena kesulitan itu datang akibat kita berada dalam hiruk pikuk kemewahan duniawi, yang selalu hadir di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang kita?”
“…jangan salah, Ki Ageng. Bukankah setiap manusia hidup memerlukan kebutuhan jasadiah?” timpal Syekh Siti Jenar.
“Duniawi adalah kebutuhan lahiriah, sedangkan menuju ma’rifat adalah proses perjalanan batin menuju akrab.”
“Benar, Syekh. Namun jika gangguan duniawi sangat terlalu kuat, bisa menggelapkan mata batin. Sehingga kita selalu memperjuangkan kepentingan jasadiyah tanpa kendali dan melupakan kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan itulah yang sangat sulit.”
“Sebetulnya kita tidak perlu seimbang dulu. Namun itu terlalu berat untuk kebanyakan orang dan tidak mungkin dapat tercapai. Sebab bagi yang telah ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh melangkah tinggal mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau berada dalam genggaman.” Terang Syekh Siti Jenar, lantas membuka telapak tangannya dan diacungkan ke langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah! Inikah yang Ki Ageng inginkan?”
“Syekh, rasanya sangat berat untuk menempuh jalan ma’rifat.” Kebo Kenongo nampak tidak ceria.
“Ya, tentu saja.” “Mungkinkah saya harus bertahap? Menurut tahapan ilmu, Syekh?”
“Tidak selalu, Ki Ageng Pengging.”
Syekh Siti Jenar perlahan bangkit dari duduknya.
“Bukankah saya menyarankan jika seandainya Andika kesulitan mengikuti ilmu Islam, hendaknya ikutilah ajaran agama yang Andika anut. Bukankah Andika tinggal satu atau dua langkah lagi menuju ma’rifat, setelah itu akrab. Orang yang akrab dengan Allah itulah seperti yang pernah saya uraikan sebelumnya.”
“Ya,” Kebo Kenongo menggeleng, “Itu dibicarakan sangatlah mudah, Syekh. Namun untuk melaksanakannya terasa berat, dan sulit untuk membuka tabirnya. Jika sekali saja tabir itu sudah
terbuka tentulah berikutnya akan lebih mudah.”
“Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam sejenak, matanya yang sejuk dan tajam beradu tatap dengan Kebo
Kenongo. “Ya, hanya Sunan Kalijaga yang bisa…” gumamnya.
“Sunan Kalijaga?”
“Tidak perlu dipikirkan! Apalagi mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar kembali ke tempat duduknya.
“Benar, Syekh. Andika selain bisa membaca keinginan batin saya juga dapat membuktikannya hanya dengan mengepalkan tangan.” Kebo Kenongo menggeleng-gelengkan kepala, seraya memujinya.

0 comments:

Posting Komentar