23 Mei 2015

Sabtu, Mei 23, 2015
Dicanangkannya tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak membawa angin segar bagi masyarakat yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Sebagaimana diketahui bersama, tindakan menyembunyikan diri dari kewajiban perpajakan adalah melawan hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP): ”Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; … sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.
Melalui Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghimbau seluruh lapisan masyarakat, yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, sekaligus untuk mendapatkan NPWP, guna menghindari sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas.
Syarat Subjektif Wajib Pajak
Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang dimaksud sebagai Subjek Pajak adalah orang pribadi, badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) serta warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri menurut Undang-Undang PPh adalah sebagai berikut:
  1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
  2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
  3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Sedangkan Subjek Pajak luar negeri menurut Undang-Undang PPh adalah sebagai berikut:
  1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
  2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Khusus untuk BUT, Undang-Undang PPh mengatur definisinya sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. BUT dapat berupa:
  1. tempat kedudukan manajemen;
  2. cabang perusahaan;
  3. kantor perwakilan;
  4. gedung kantor;
  5. pabrik;
  6. bengkel;
  7. gudang;
  8. ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
  12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Dengan demikian apabila terdapat badan atau orang pribadi yang memiliki kriteria sebagai Subjek Pajak di atas, maka syarat subjektif sebagai wajib pajak sudah terpenuhi.
Selain mengatur Subjek Pajak, Undang-Undang PPh juga mengatur pengecualian dari Subjek Pajak sebagai berikut:
  1. kantor perwakilan negara asing;
  2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
  3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
  4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Syarat Objektif Wajib Pajak
Untuk persyaratan objektif, Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur definisi Objek Pajak sebagai penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Berbagai contoh penghasilan yang dimaksud dalam Undang-Undang PPh adalah:
  1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya;
  2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
  3. laba usaha;
  4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
    • keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
    • keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
    • keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
    • keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
    • keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
  5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
  9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  14. premi asuransi;
  15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
  19. surplus Bank Indonesia.
Dengan demikian apabila terdapat badan atau orang pribadi yang menerima Objek Pajak di atas, maka syarat objektif sebagai wajib pajak sudah terpenuhi, dan apabila yang bersangkutan juga memenuhi syarat subjektif maka harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Insentif Bagi Wajib Pajak Baru
Sebagai insentif atas upaya pemenuhan kewajiban perpajakan bagi masyarakat yang belum ber-NPWP, yakni dengan menjadi Wajib Pajak baru, melalui PMK Nomor 91/PMK.03/2015 akan menikmati fasilitas dibebaskan dari sanksi administrasi yang timbul karena keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) maupun keterlambatan penyetoran pajak. Penyampaian SPT dan keterlambatan penyetoran pajak yang dimaksud adalah atas Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya serta Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya.
Pada dasarnya, atas keterlambatan penyampaian SPT maupun keterlambatan penyetoran pajak akan diberikan sanksi administrasi melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) kepada Wajib Pajak baru. Namun demikian, sanksi administrasi dalam STP akan dihapuskan melalui mekanisme sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak mengajukan 1 (satu) permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap 1 (satu) Surat Tagihan Pajak;
  2. Permohonan tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. Permohonan tersebut ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak badan dan tidak dapat dikuasakan; serta
  4. Disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Sebagai kelengkapan atas permohonan tersebut, terdapat beberapa dokumen yang harus dilampirkan sebagai berikut:
  1. Surat pernyataan yang menyatakan bahwa keterlambatan penyampaian SPT, keterlambatan pembayaran pajak dan/atau Pembetulan SPT dilakukan karena kekhilafan atau bukan karena kesalahan, ditandatangani di atas meterai Rp 6.000,- oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak badan
  2. Fotokopi SPT yang disampaikan atau print-out SPT jika penyampaiannya melalui dokumen elektronik;
  3. Fotokopi bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai bukti penerimaan penyampaian SPT;
  4. Fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak terutang yang tercantum dalam SPT;
  5. Fotokopi STP.
Melalui fasilitas ini, dengan adanya penyampaian permohonan tersebut, tindakan penagihan pajak atas STP yang disampaikan kepada Wajib Pajak juga ditunda, sehingga Wajib Pajak baru betul-betul dilindungi dan diberikan keleluasaan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya atas Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya atau Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya.
Jadi tunggu apa lagi, manfaatkan segera Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015, karena #PajakMilikBersama.

0 comments:

Posting Komentar