Bancakan termasuk sesaji ditujukan untuk sedekah terutama kepada sesama manusia. Bancakan dibuat untuk dibagi-bagikan kemudian dimakan oleh orang. Untuk itu bancakan biasanya dibuat dengan aneka rasa yang enak di lidah dan berupa hidangan khusus yang menimbulkan selera makan. Untuk itu membuat bancakan tidak boleh sembarangan melainkan harus dibuat senikmat mungkin agar orang-orang yang kita sedekahi turut puas dan bahagia. Prinsipnya sederhana saja yakni, kalau mau memberikan sedekah, maka berikan sedekah yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Jangan pernah berikan “sampah” pada orang lain, yakni apa yang kita sendiri sudah enggan memakannya.
Bancakan dibuat oleh seseorang, kelompok, grup, atau bahkan institusi dengan berbagai tujuan misalnya dalam rangka ritual syukuran, ritual selamatan, atau ritual doa permohonan. Orang yang memahami kebijaksanaan hidup, saat mengekspresikan rasa sukur tidak akan cukup hanya dengan ucapan manis di mulut saja, tetapi mewujudkan rasa sukur itu dalam perbuatan nyata misalnya sedekah. Doa mohon keselamatan, doa permohonan untuk mewujudkan suatu tujuan baik, seyogyanya dibuka dengan sedekah. Karena sedekah merupakan cara terbaik untuk memantaskan diri kita menjadi orang yang layak menerima anugrah.
Sajèn Bebono
Sajen merupakan bahasa Jawa dari sesaji. Tetapi istilah sajen lebih familiar untuk menyebut sesaji yang bukan berupa bancakan. Bentuk sajen biasanya tidak selalu berupa hidangan yang enak dimakan. Bahkan kadang berupa bahan-bahan yang tidak enak dan tidak mungkin untuk dikonsumsi oleh manusia. Misalnya minyak wangi, kemenyan, dupa, kunyit mentah, dlingo dan bengle dll. Sajen dalam bahasa kraton lebih familiar disebut sebagai bebono atau pengorbanan atau kurban. Akan tetapi Anda jangan membayangkan “pengorbanan” atau “kurban” berupa tumbal setan yang menyeramkan. Anda jangan membiasakan diri mengikuti paham “sampah” yang sering ditebarkan melalui sinetron dan film-film murahan yang sering beredar di bioskop dan ditayangkan televisi. Seringkali mereka membuat opini yang salah kaprah tapi tidak menyadari hal itu telah meracuni otak masyarakat Indonesia. Keadaan ini sungguh memprihatinkan sekali.
Sama dengan bancakan, bebono juga merupakan sedekah. Tujuannya adalah untuk bersedekah kepada seluruh makhluk sesama penghuni planet bumi. Sebagai manusia yang arif dan bijaksana, manusia yang berkesadaran kosmologis, akan menyadari bahwa hidup di dunia ini selalu berdampingan dengan beragam makhluk hidup, yang kasat mata, maupun yang tidak kasat mata. Manusia juga hidup menumpang di antara benda-benda tidak hidup yang ada di planet bumi ini. Dalam filsafat hidup Jawa, berpijak dari fakta-fakta itu menyadarkan kita bahwa salah satu tujuan utama manusia hidup di planet bumi adalah untuk saling menghormati, saling menghargai, dan saling menyayangi di antara makhluk hidup yang ada. Baik kepada antar sesama manusia maupun terhadap hewan, tumbuhan, dan makhluk halus. Dalam filsafat hidup Jawa, ditanamkan suatu kesadaran kosmologis di mana kita harus menghargai, menghormati, dan memanfaatkan seluruh benda hidup maupun benda-benda tidak hidup dengan cara adil, bijaksana serta penuh kasih sayang. Pada intinya apa maksud dan tujuan dari seseorang membuat sesaji bancakan, sajen atau bebono, tidak lain untuk mewujudkan rasa menghormati, menghargai, rasa syukur dan sebagai expresi sikap welas asih secara nyata kepada seluruh makhluk penghuni planet bumi. Dapat dianalogikan, seperti apa yang dilakukan orang tua yang menyayangi anak-anak tentu mereka akan bersedia mengorbankan tenaga, pikiran, beaya dan waktu untuk membahagiakan anak-anak mereka. Orang tua telah memberikan bebono kepada anak-anaknya. Dalam konteks bebono, pengorbanan atau sedekah sebagai expresi kasih sayang itu lebih difokuskan kepada bangsa halus. Bangsa halus tidak boleh diperlakukan semena-mena. Mereka juga makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, untuk mengisi jagad raya ini dalam fungsinya masing-masing sesuai hukum alam (kodrat) yang berlaku. Bangsa makhluk halus diciptakan bukan untuk dianiaya oleh bangsa manusia, melainkan untuk berperan serta dalam tata hukum keseimbangan alam. Sudah selayaknya bangsa manusia yang kata orang sebagai makhluk paling sempurna, maka sempurnakan pula perilaku yang adil dan bijaksana sebagai bagian dari bangsa makhluk hidup yang beradab dan santun kepada alam semesta dan seluruh penghuninya.
Sajèn Pisungsung
Pisungsung artinya persembahan. Dalam konteks ini pisungsung lebih difokuskan kepada eksistensi supernatural being, misalnya ancesters atau ancient spirit (leluhur) yakni orang-orang yang telah hidup di dimensi yang abadi. Dalam posting saya terdahulu seringkali saya sampaikan bahwa salah satu kunci sukses kehidupan kita adalah seberapa besar bakti kita kepada kedua orang tua, dan para leluhur kita, hingga leluhur perintis bangsa besar ini. Nah, pisungsung merupakan wujud ekspresi nyata bakti kita kepada para leluhur berupa suatu persembahan. Pisungsung tidak terbatas benda fisik. Bisa juga berupa persembahan melalui lisan misalnya doa, ucapan terimakasih, ucapan sembah pangabekti, hingga persembahan berupa tindakan nyata misalnya ziarah kubur, nyekar, ritual menghaturkan aneka ragam uborampe untuk pisungsung, membersihkan pusara dst. Kita perlu mengenang para leluhur, selain sebagai ekspresi rasa terimakasih dan hormat serta berusaha mengambil sisi positif kehidupan masa lampau orang-orang yang telah mendahului kita sebagai suri tauladan. Pisungsung lazimnya pula berupa minuman dan makanan, benda-benda seperti bunga, minyak wangi yang dulunya disukai oleh orang-orang yang mendahului kita. Atau sesuai tradisi yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat terhubung tali rasa sih-katresnan antara orang yang memberikan pisungsung dengan leluhur.
Sampai di sini, mudah-mudahan para pembaca yang budiman dapat memahami dengan bijaksana. Dengan memahami nilai luhur filsafat dalam sesaji seperti uraian di atas, diharapkan bagi siapapun yang sedang membuat dan berbagi sesaji dapat menanamkan pola pikir (mind set) yang tepat pula. Sehingga sesaji menjadi lebih besar nilai filsafatnya, dan lebih efektif untuk menciptakan perubahan positif dalam kehidupan kita. Junk opinion telah merusak nilai luhur yang terkandung dalam ritual hatur sesaji. Bahkan membeloknya esensi tujuannya. Bahkan junk opinion telah merusak pola pikir serta mengotori kalbu pelakunya. Jika sudah rusak pola pikirnya, kemudian orang menjadikannya sebagai alasan untuk memojokkan dan menjelekkan tradisi hatur sesaji. Bahkan kemudian melarangnya dengan cara menakut-nakutinya sebagai tindakan berdosa. Entah hal ini akibat kebodohan masyarakat atau memang sebuah usaha sistematis melakukan cultural and ethnic cleansing.
Lanjut gan ..
Salam Seger Waras
0 comments:
Posting Komentar